Kamis, 06 Februari 2014


satu jiwaku untuk kebahagiaan, satu jiwaku untukmu agar bahagia selalu

Sejati itu terserap di hati tak hanya lati. Kalimat inilah yang dulu membangun persahabatan kami semasa di bangku kuliah. Persahabatan sejati tak hanya diucapkan dalam mulut namun juga harus dirasakan oleh hati. PsychoAr Foundation, bangunan 3 lantai yang berdiri tepat di depanku. Hasil dari persahabatan sekumpulan anak psikologi yang menyebut mereka unik. Aku memasuki gedung itu sambil mengingat kembali awal mula kisah ini.

 “Kita terdiri dari orang-orang hebat! Mengapa kita tidak bersatu saja?” ajak Faruq yang kala itu masih menjadi fotografer di salah satu koran kampus. Saat ini Faruq menjadi  psikolog yang tersohor di kota kelahirannya sana, Palu.


“Lalu kita bisa apa?” tanyaku heran. Aku yang saat ini hanyalah seorang wartawan dari majalah nasional saat mahasiswa dulu memang tak mudah percaya dengan ajakan orang.

“Ah kau ini, lihat saja kemampuan Gita, Ainin, Melia, Iha belum lagi Akhi Anang dan tentu saja Gugus.”  Faruq masih saja meyakinkanku.

Saat ini aku pun tak menyangka empat gadis manis nan jelita itu kini sudah menjadi orang yang sukses di bidangnya. Gita menjadi psikolog pendidikan dan sekarang ia menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka. Ainin orang yang menikah pertama kali diantara kami kini telah memiliki dua anak dan mempunyai toko busana muslim yang ia idamkan. Bisnisnya sudah menyebar di beberapa kota besar di Indonesia. Melia, sang gadis pendiam namun ia adalah sesosok istri yang taat pada suaminya. Ia kini tengah sibuk membangun beberapa distro di Solo. Iha adalah aktivis perempuan, sejak kuliah sampai saat ini. Mungkin namanya bisa disandingkan dengan Kartini.

Lalu kawanku yang lelaki. Anang telah merantau ke kalimantan, ia menjadi direktur HRD di perusahaan tambang. Dan terakhir, Gugus, sekarang ia mendirikan advertising di Jakarta. Perusahaan desainnya telah dipercaya klien baik dalam dan luar negeri.

Aku beranjak masuk ke bangunan yang tergolong megah jika hanya disebut dengan yayasan. kusandarkan raga di kursi yang berada di ruangan yang khusus disediakan untuk kami berdelapan. Ruangan Sang Pendiri, kata anak-anak penghuni yayasan.

Tiba-tiba ingatan ini kembali menyelisik memori indah. November, 5 tahun yang lalu kiranyaDelapan mahasiswa berkumpul memproklamasikan persahabatannya. Tercetuslah nama PsychoArt. Atas dasar pemikiranku dan semua menyetujuinya.

“Jiwa seni, semoga semua dari kita memiliki seni untuk menjalani kehidupan ,” kata Gita dengangirangnya.

“Jiwa seniku berdagang, ayo siapa yang mau beli kerudungku???” celetuk Ainin yang seketika juga 
mengundang tawa  yang lain.

“satu jiwaku untuk kebahagiaan, satu jiwaku untukmu agar bahagia selalu.”  Kelakar Gugus dengan teori-teori khasnya.

Dari sinilah PsychoArt dibangun. Atas dasar kegembiraan, kebersamaan dan saling membagikan kebahagiaan. Tahun terakhir di kampus, kami  telah berhasil membangun pusat studi untuk psikologi Islam dan indigenous. Beberapa penelitian telah mengantarkan beberapa sahabat menjadi ahli di bidangnya masing-masing. Dari sinilah nama PsychoArt mulai dikenal di kampus. Banyak yang gabung dan kami terima dengan tangan terbuka.

Sejenak, kulirik jam di lengan kiriku. Sudah jam 3 sore. Tapi ke tujuh sahabatku belum juga datang. Ya hari ini kami berniat kumpul bareng. Melepas kepenatan, mengambil guyonan dan sekaligus membangun yayasan ini agar lebih bermanfaat.

Kutenggak air mineral yang sedari tadi aku genggam. Sambil sejenak mengingat kembali bagaimana akhirnya psychoArt menjadi sebuah yayasan. Menjadi sebuah alat pergerakan. Membangun bangsa dan mewujudkan mimpi anak-anak.

“Bagaimana kalau kita buat yayasan? Sebuah foundation?” Kata Gita memecah keheningan saat itu.

Aku mengerti perasaan Gita. Sebulan setelah pernikahannya ia harus rela ditinggal kerja suami. Suaminya tak lain adalah Anang. Ia dipromosikan oleh perusahaannya menjadi direktur namun berlokasi di Kalimantan. Gita tak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja untuk ikut dengan suami, sebab selain menjadi dosen ia juga sedang menyelesaikan program doktornya.

“Yayasan? Buat apa Git?” Sahut Melia yang terkenal pendiam di antara kami.

“Pertama, buat membantu anak-anak di negeri ini. Bantu anak-anak mewujudkan mimpi mereka dengan ilmu yang telah kita miliki.” Jelas gita dengan gamblangnya.

“Lalu kedua? Ketiga? Keempat? Dan....” goda Iha.

“Kedua ini sebagai ikatan kita. Sebagai alasan biar bisa berkumpul semua pada waktu yang sama meski kita sibuk dengan kegiatan masing-masing.” Sigap Gita.

“Oke aku setuju!! Namanya PsychoArt Foundation. Tapi untuk awalan mau bergerak dimana?” Tiba-tiba aku masuk dalam obrolan.

“Awal di Solo. Buat semacam biro psikologi khusus anak. Dan itu gratis!” Sahut Anang membalas kegalauanku.

“Aku siap bantu! Akan kukerahkan beberapa kawan di Palu untuk mewujudkan ini,” kata Faruq.

Tiga bulan sekali kami kumpul bareng Di Solo. Sepertinya ini pertemuan ke sembilan kami sejak Januari dua tahun lalu. Tak terasa sudah sudah tahun. Kulirik pintu ruangan di depanku yang memang tak tertutup.
Banyak anak-anak penghuni yayasan sedang berlari ke arah keluar gedung. Aku cuek saja, masih bergelimang memori indah.

Kali ini kami berkumpul. Berencana ingin membangun cabang di Surabaya. PsychoArt pun sudah menjadi komunitas besar. Banyak relawan yang ingin bergabung. Ternyata masih banyak orang yang ingin membangun negeri ini.

satu jiwaku untuk kebahagiaan, satu jiwaku untukmu agar bahagia selalu.

Kata-kata dari Gugus itu selalu menghiasi benakku selama ini. Bagaimana aku sebagai seorang insan harus selalu memberikan kebahagiaan kepada yang lain.

“SUPRISSSEEE!!!!” kompak seluruh penghuni yayasan masuk ke ruangan mengagetkanku sambil membawa sepotong kue.

“selamat ulang tahun brai...” Anang menjabat tanganku.
---------------
*cerpen juga bisa dibaca di laman ini

0 komentar:

Posting Komentar